Puasa Pertama yang Tak Akan Pernah Sama Lagi
Puasa Pertama yang Tak Akan Pernah Sama Lagi
Aku Rindu Suara Azan Itu
Udara subuh masih menyisakan dingin yang menusuk, tapi kehangatan di dalam rumah selalu menjadi tempat ternyaman untukku. Ramadhan tahun ini seharusnya seperti tahun-tahun sebelumnya—penuh tawa, kebersamaan, dan suara lembut ibu yang membangunkanku untuk sahur. Tapi tidak kali ini.
Aku terbangun tanpa panggilan lembutnya. Tak ada suara sendok beradu dengan piring, tak ada aroma teh manis hangat yang biasanya ia buatkan khusus untukku. Hanya ada sunyi yang menggigit, sunyi yang membangunkanku dengan cara yang tak pernah kuinginkan.
Sebuah Kursi yang Kosong
Saat duduk di meja makan, tatapanku terpaku pada kursi di sudut ruangan. Kursi kayu kecil yang selama ini menjadi tempatnya duduk. Biasanya, ia akan tersenyum, menyodorkan piring berisi nasi dan lauk sederhana sambil berbisik pelan, "Makan yang banyak, Nak. Nanti puasanya kuat."
Tapi kini, kursi itu kosong.
Aku menahan napas, berusaha mengalihkan pikiran. Adik kecilku masih terkantuk-kantuk di sebelahku, sementara ayah diam, tak banyak bicara. Kami tahu, Ramadhan kali ini berbeda. Tak ada lagi sosok yang selama ini menjadi cahaya bagi keluarga kecil kami.
Puasa Pertama Tanpanya
Adzan Subuh berkumandang, pertanda waktu imsak tiba. Aku meneguk air putih pelan, tapi rasanya seperti ada yang menekan dadaku. Kenangan-kenangan datang tanpa permisi, mengingatkanku pada Ramadhan tahun lalu.
"Nanti buka puasanya mau kolak atau es timun suri, Sayang?" Suara ibu masih terekam jelas di kepalaku.
Dulu, setiap kali berbuka, ia selalu memastikan kami mendapatkan makanan kesukaan kami. Sekarang, bahkan untuk membayangkan meja makan tanpa dirinya pun terasa berat.
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini adalah puasa pertamaku tanpanya. Puasa pertama tanpa doa lembut yang ia bisikkan di setiap sahur. Puasa pertama tanpa tangannya yang mengusap kepalaku setelah aku berbuka.
Pelukan yang Hanya Ada di Mimpi
Seharian aku berusaha menjalankan ibadah puasa seperti biasa. Tapi di setiap detik, di setiap helaan napas, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Ketika adik kecilku merengek karena lapar, aku mencoba menghiburnya seperti yang selalu ibu lakukan.
“Sebentar lagi buka, ya. Sabar, ya.”
Aku ingin sekali memeluk ibu. Ingin sekali merasakan tangannya di bahuku, menenangkan semua kesedihan yang diam-diam bersembunyi di balik senyum yang kupaksakan.
Tapi aku tahu, pelukan itu kini hanya ada di dalam mimpi.
Adzan Maghrib yang Terasa Pahit
Ketika adzan Maghrib berkumandang, aku menatap meja makan dengan hati yang hampa. Ayah duduk di depan kami, mencoba tersenyum meski matanya merah menahan air mata. Aku dan adik mengambil kurma, seperti yang ibu ajarkan, lalu meneguk segelas air putih.
Tapi tak ada suara ibu yang berkata, "Alhamdulillah, berbuka puasa bersama keluarga itu nikmat sekali."
Aku menggigit kurma dengan air mata yang mulai menggenang. Rasanya lebih pahit dari biasanya.
Kehilangan yang Menguatkan
Malam itu, aku duduk di kamar dengan mushaf Al-Qur’an di pangkuanku. Aku membuka lembaran yang masih menyimpan harumnya. Harum tangan ibu yang selalu membacakan ayat-ayat untukku.
Air mataku menetes perlahan. Bukan karena aku ingin menyerah pada kesedihan, tapi karena aku sadar, aku harus lebih kuat.
Ibu mungkin telah tiada, tapi cintanya tidak. Ia ada dalam setiap doa sahurku, dalam setiap suapan sahur yang kutelan dengan berat hati, dalam setiap doa berbuka yang kusampaikan dengan harapan bahwa ia sedang tersenyum di sana—di tempat yang jauh lebih indah dari dunia ini.
Ramadhan kali ini mungkin penuh dengan air mata, tapi juga penuh dengan doa. Doa untuk ibu, agar tenang di sisi-Nya. Doa untukku, agar aku bisa menjalani hari-hari tanpanya dengan ketabahan yang ia ajarkan padaku sejak kecil.
Karena bagaimanapun, Ramadhan adalah tentang belajar menguatkan hati.
Dan aku tahu, ibu pasti ingin aku tetap tersenyum, meskipun tanpa dirinya di sini.
#PuasaPertama #Ramadhan #KisahSedih #Kehilangan #Keluarga #Ibu #Ramadhan2025 #BerbukaPuasa #RinduIbu
Komentar
Posting Komentar