Ramadhan di Antara Rindu dan Doa: Kisah Sebuah Kebersamaan yang Abadi
Ramadhan di Antara Rindu dan Doa: Kisah Sebuah Kebersamaan yang Abadi
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma khas bulan suci. Dimas duduk di teras rumah sambil menunggu adzan Maghrib. Ramadhan tahun ini terasa begitu berbeda, meskipun semua masih terlihat sama.
Di sampingnya, seorang perempuan tua duduk dengan senyum hangat. Neneknya. Sosok yang selalu menemaninya sejak kecil, yang memasak hidangan berbuka dengan penuh cinta, dan yang selalu mengajarkannya bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga tentang keikhlasan dan kasih sayang.
"Sebentar lagi buka, Nak," ucap nenek dengan suara lembutnya.
Dimas tersenyum, mengangguk pelan. Tapi di dalam hatinya, ia menyadari sesuatu—Ramadhan ini mungkin akan menjadi kebersamaan terakhir mereka.
Ramadhan yang Penuh Kenangan
Sejak kecil, Dimas selalu menghabiskan Ramadhan di rumah neneknya. Meskipun rumah itu sederhana, tetapi di sanalah hatinya merasa paling hangat. Nenek selalu bangun lebih awal untuk memasak sahur, membangunkannya dengan usapan lembut di kepala.
Dimas ingat betul, saat kecil ia sering berpura-pura masih mengantuk agar bisa mendengar suara nenek membujuknya dengan penuh kasih. "Ayo bangun, Nak. Sahur itu berkah," katanya dengan nada lembut yang selalu berhasil membuat Dimas tersenyum.
Tapi kini, nenek sudah lebih sering duduk diam, tidak seaktif dulu. Tangan yang dulu cekatan menguleni adonan untuk membuat kolak pisang, kini lebih banyak beristirahat. Tapi semangatnya tetap sama.
"Nak, nanti kalau nenek sudah tidak kuat lagi masak, kamu yang gantiin, ya?" katanya suatu sore, sambil mengaduk sup hangat.
Dimas terdiam. Ia tahu maksud nenek. Tapi ia tak ingin membayangkan Ramadhan tanpa sosok perempuan yang telah menjadi cahaya di hidupnya itu.
Malam yang Penuh Doa
Malam itu, setelah tarawih, Dimas duduk di samping nenek yang tengah membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Lampu redup di ruang tamu membuat suasana terasa lebih syahdu.
"Nek, apa doa yang paling nenek inginkan di bulan Ramadhan ini?" tanya Dimas, suaranya sedikit bergetar.
Nenek menutup Al-Qur’an perlahan, lalu tersenyum. "Nenek tidak pernah meminta yang muluk-muluk, Nak. Cukup ingin melihat kamu bahagia, menjadi anak yang baik, dan tidak pernah lupa berdoa untuk orang-orang yang kamu sayangi."
Dimas menunduk. Ada rasa haru yang menyelinap di dadanya.
Malam itu, dalam sujud panjangnya, ia berdoa lebih lama dari biasanya. Memohon agar kebersamaan ini tetap ada, agar waktu tak berjalan terlalu cepat.
Ramadhan yang Tak Pernah Berakhir
Hari terus berjalan. Ramadhan semakin mendekati akhirnya. Dimas menyadari satu hal—kebersamaan memang tidak selalu selamanya, tetapi cinta dan doa akan terus hidup.
Suatu sore, saat duduk bersama nenek di teras seperti biasa, Dimas menggenggam tangan neneknya dan berkata, "Nek, meskipun suatu saat kita tak bisa berbuka bersama lagi, aku janji setiap Ramadhan, aku akan memasak kolak pisang seperti yang nenek ajarkan. Dan aku akan selalu berdoa, untuk nenek."
Nenek tersenyum, matanya berbinar. "Itulah yang nenek inginkan, Nak. Ramadhan akan selalu ada di hatimu, dalam setiap doa yang kamu panjatkan."
Azan Maghrib berkumandang. Dimas menatap langit senja, merasakan kehangatan yang tidak akan pernah pudar. Sebab, meskipun waktu terus berjalan, cinta dan doa selalu abadi.Ramadhan bukan hanya tentang makanan berbuka atau sahur bersama. Ia adalah tentang kebersamaan, tentang doa yang mengikat hati, dan tentang cinta yang tetap ada meskipun waktu terus berjalan.
Jika kamu masih memiliki orang-orang tercinta di sisimu, hargai setiap detiknya. Karena suatu hari nanti, yang tersisa hanyalah kenangan, dan doa yang terus mengalir.
✨ Bagikan kisah ini agar semakin banyak orang yang mengingat pentingnya kebersamaan di bulan Ramadhan. ✨
#RamadhanBerkah #KisahHaru #RinduYangIndah #BulanSuci #DoaDanCinta
Komentar
Posting Komentar